BERITA EKSKLUSIF

Dari Sri Mulyani ke Purbaya: Bisakah Mesin Ekonomi Prabowo Didorong ke 8%?

By Muis Syam

September 09, 2025

Oleh: Achmad Nur Hidayat*

DM1.CO.ID, OPINI: Bisakah Indonesia berlari ke pertumbuhan 8% setelah Presiden Prabowo mengganti Sri Mulyani Indrawati dengan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan?

Pertanyaan ini sah, bahkan mendesak, karena pergantian nakhoda terjadi ketika ekonomi masih bertahan di kisaran lima persen dan ekspektasi sosial tengah meninggi.

Publik menginginkan program prioritas dipacu—dari industrialisasi dan hilirisasi hingga Makan Bergizi Gratis (MBG)—namun pada saat yang sama menuntut disiplin defisit.

Di sinilah rumusan masalahnya:

Bagaimana menambah kecepatan tanpa kehilangan kendali?

Apakah latar belakang Purbaya yang selama ini identik dengan stabilitas sistem keuangan cukup untuk mewujudkan akselerasi itu, dan bagaimana arah kebijakan fiskal ke depan agar selaras dengan visi pertumbuhan delapan persen?

Jawaban ringkasnya begini. Target 8% adalah lompatan struktural, bukan sekadar akselerasi siklus. Untuk mencapainya, mesin fiskal harus ditata ulang: penerimaan negara perlu naik secara kredibel, belanja harus bergeser dari yang habis pakai menuju yang menambah produktivitas, dan ekosistem manufaktur harus kembali menjadi mesin TFP.

Purbaya membawa modal penting berupa ketenangan sistemik dari pengalamannya di Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Tetapi modal itu baru menjadi jawaban jika diterjemahkan ke dalam arsitektur fiskal yang presisi, komunikatif, dan konsisten.

 

Mengganti Sopir di Turunan Panjang

Bayangkan kita sedang menuruni jalan berkelok di pegunungan. Mobilnya besar: APBN, sektor keuangan, dan ekspektasi publik.

Sopir lama dikenal piawai memilih gigi dan menahan rem—itulah reputasi Sri Mulyani dalam menjaga kredibilitas fiskal.

Kini sopir berganti di tengah turunan, sementara penumpang bertambah karena program-program prioritas.

Di situ, keahlian menjaga stabilitas sama pentingnya dengan keberanian menambah kecepatan.

Purbaya datang dari dunia penjaminan simpanan dan resolusi bank; ia terbiasa memastikan penumpang tidak panik ketika roda perbankan bermasalah.

Transisi ini menuntut koordinasi yang presisi antara rem (disiplin fiskal) dan gas (stimulus pertumbuhan) agar mesin tidak jebol dan laju tetap terjaga.

Analogi ini mempermudah topik yang kompleks: pergeseran dari fokus “ketertiban anggaran” semata menuju “ketertiban anggaran yang menggerakkan nilai tambah”.

 

Mobil besar bernama APBN tak cukup hanya aman meluncur; ia harus membawa kita ke tujuan—kelas menengah yang lebih luas, manufaktur yang tumbuh, dan kesejahteraan yang merata.

Meluruskan Persepsi: Purbaya Fokus ke Stabilitas, APBN Tidak Hanya Stabilitas, namun ada peran Alokasi dan Distribusi, Purbaya lemah di keduanya

Kita perlu jernih soal posisi. Purbaya sebelumnya adalah Ketua Dewan Komisioner LPS, bagian kecil dari stabilitas sistem keuangan.

Tolok ukur kinerja yang relevan berasal dari mandat LPS—penjaminan simpanan dan resolusi bank—bukan dari kebijakan mikroprudensial OJK atau kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia.

Di LPS, Purbaya menonjol pada stabilitas: cakupan penjaminan simpanan yang sangat luas menjaga kepercayaan deposan, gelombang penutupan BPR dapat dilalui tanpa memantik kepanikan sistemik, dan proses klaim diselesaikan dengan disiplin prosedural.

Semua itu modal berharga untuk duduk di Komite Stabilitas Sistem Keuangan, terlebih saat pembiayaan APBN beririsan dengan dinamika perbankan dan pasar surat utang.

Namun, tugas Menkeu melampaui stabilitas keuangan.

Ia adalah arsitek dari sisi penerimaan, pengendali prioritas belanja, dan pengelola biaya utang.

Di sinilah transformasi peran dibutuhkan: dari penjaga ketenangan sistemik menjadi perancang mesin fiskal yang pro-produktivitas.

 

Landasan Data: Di Mana Kita Berdiri?

Ekonomi Indonesia tumbuh 5,12% (yoy) pada triwulan kedua 2025.

Angka ini kontroversi, tetapi belum menandakan lonjakan produktivitas. Di sisi belanja prioritas, MBG menjadi ikon janji kesejahteraan.

Diskursus politik-anggaran menyebut alokasi 2025 yang meningkat signifikan dan proyeksi 2026 sekitar ratusan triliun.

Besaran itu menuntut ruang fiskal lapang sekaligus eksekusi lintas rantai pasok: dari pertanian rumah tangga, logistik dingin, sampai UMKM pengolahan.

Di atas semua itu, jangkar defisit tetap dipertahankan di bawah tiga persen dari PDB untuk menjaga kredibilitas dan biaya utang.

 

Dengan kata lain, jalur menuju 8% bukan hanya tentang menambah belanja, melainkan tentang bagaimana membiayai dan mengarahkan belanja itu agar menumbuhkan kapasitas produksi.

Pertumbuhan delapan persen tidak akan datang dari pola lama. Ia memerlukan tiga komponen yang saling mengunci.

Komponen pertama adalah arsitektur penerimaan negara yang nyata, bukan sekadar daftar keinginan.

Di kursi Menkeu, Purbaya harus menampilkan playbook menaikkan rasio pajak secara bertahap dan kredibel.

Jalannya terbentang dari penutupan celah PPN dan PPh Badan, pemangkasan biaya kepatuhan melalui digitalisasi administrasi, sampai desain kepatuhan yang mendorong formalitas ekonomi. Tanpa lompatan penerimaan, setiap peningkatan belanja pro-rakyat akan menekan defisit atau mengerek biaya pembiayaan.

Pasar, pada gilirannya, akan merespons dengan menaikkan premi risiko jika tak melihat arah yang jelas.

Komponen kedua adalah rekomposisi belanja dari yang habis pakai menuju yang menambah produktivitas.

MBG hanya akan menjadi flywheel fiskal bila dirancang sebagai kebijakan industri mikro.

Itu berarti memastikan permintaan yang pasti bagi produk pangan lokal, menaikkan kandungan lokal, membangun cold chain di tingkat kabupaten, dan menegakkan standar gizi berbasis bukti agar dampak pada sumber daya manusia nyata.

Ketika belanja sosial mengunci efek permintaan pada sektor pangan dan pengolahan, maka siklus permintaan-kapasitas-produktivitas akan berputar lebih cepat dan lebih merata.

Komponen ketiga adalah kebangkitan manufaktur dan produktivitas.

Di sinilah peran Menkeu sebagai perancang harga relatif. Insentif pajak harus tepat sasaran, depresiasi dipercepat untuk mesin ramah lingkungan, kredit pajak untuk investasi hijau, dan bea masuk disederhanakan pada komponen kunci.

 

APBN menjadi de-risker, bukan sekadar spender.

Regulasi dan kepastian jangka menengah perlu dirancang agar Indonesia kompetitif dibandingkan tetangga untuk manufaktur berteknologi menengah: elektronik ringan, alat kesehatan, agroprosesing, dan turunannya.

Gabungan ketiga komponen ini membuat matematika pertumbuhan bekerja.

Multiplikasi belanja sosial yang terlokalisasi, kenaikan rasio pajak yang konsisten, dan lonjakan TFP dari manufaktur menghasilkan potensi pertumbuhan yang lebih tinggi.

 

Dalam horizon lima tahun, tren bisa didorong ke kisaran enam hingga tujuh persen; pada kondisi angin belakang yang bersahabat—siklus komoditas yang baik, arus investasi asing yang meningkat, dan stabilitas eksternal—delapan persen menjadi target yang terjangkau.

Sebaliknya, tanpa reposisi fiskal dan kebijakan industri yang tajam, delapan persen akan tetap menjadi slogan.

Apa yang Kita Pelajari dari LPS: Stabilitas Adalah Modal, Bukan Tujuan Akhir

Warisan Purbaya dari LPS adalah ketenangan sistemik. Ketika belasan BPR ditutup dalam dua tahun terakhir, LPS menjaga proses klaim dan likuidasi tanpa memantik kepanikan.

Itu modal kepemimpinan penting di KSSK: Menkeu yang memahami plumbing sistem keuangan lebih siap menghadapi volatilitas imbal hasil surat negara, transmisi suku bunga perbankan, atau sudden stop pada arus dana.

Tetapi modal stabilitas bukan tujuan akhir. Tujuan akhirnya adalah kapasitas fiskal yang mampu membiayai transformasi sekaligus menjaga kepercayaan pasar dan publik.

Di sini letak ujiannya. Reputasi sebagai sosok yang memahami pasar harus diterjemahkan menjadi angka dan aturan: kalender penerbitan obligasi yang rapi, komunikasi ke depan tentang siklus fiskal yang koheren, prioritisasi proyek yang bankable secara sosial-ekonomi, serta masa berlaku yang ketat bagi insentif yang tidak efektif.

Pasar bisa menerima ekspansi fiskal sepanjang melihat tata permainan yang menjaga defisit di koridor aman dan utang dikelola secara hati-hati.

Menata Alur Agar Mengalir: Dari Masalah ke Solusi

Pendahuluan menyodorkan masalah: target delapan persen di tengah transisi Menkeu dan ekspektasi sosial yang tinggi. Argumennya jelas: delapan persen adalah hasil dari mesin fiskal yang ditata ulang—penerimaan yang naik, belanja yang produktif, dan manufaktur yang bangkit—dengan stabilitas sebagai prasyarat.

Solusinya menuntut langkah yang tidak hanya teknokratik, tetapi juga komunikatif dan membumi.

Langkah pertama adalah narasi fiskal yang jujur. Pemerintah perlu menyampaikan trade-off secara terbuka: mana prioritas yang dipercepat, mana yang diundur.

Misalnya, alokasi MBG yang sangat besar perlu diikat dengan indikator hasil yang konkret—asupan gizi, penurunan stunting, peningkatan kandungan lokal—dan ditinjau melalui telaah belanja tahunan. Publik lebih menerima belanja besar jika hasilnya terukur dan sumber dananya jelas.

Langkah kedua adalah kontrak sosial untuk investasi dan manufaktur.

Pemerintah perlu memberikan kepastian garis waktu regulasi dan pajak lima hingga sepuluh tahun bagi subsektor unggulan, dipadukan dengan voucher pelatihan agar tenaga kerja cepat naik kelas. Menkeu mengorkestrasi harga relatif agar Indonesia tampak lebih menarik daripada negara pesaing untuk manufaktur berteknologi menengah.

Langkah ketiga adalah kepastian defisit dan pembiayaan.

Tetapkan koridor defisit secara ex-ante dalam RAPBN dan lakukan pemutakhiran tengah tahun yang disiplin. Diversifikasi sumber pembiayaan melalui surat utang ritel untuk mengikat partisipasi kelas menengah, sukuk hijau untuk proyek efisiensi energi dan logistik, serta skema pembiayaan campuran untuk infrastruktur daerah.

Pendekatan ini menurunkan biaya modal dan menyebarkan kepemilikan keuangan negara kepada warganya sendiri.

Jalan Delapan Persen Bukan Jalan Tol, Tapi Bukan Jalan Buntu

Pergantian Sri Mulyani ke Purbaya adalah momen kebenaran bagi ekonomi Prabowo.

Jalan menuju delapan persen bukan jalan tol; ia berkelok dan terkadang berkabut. Namun bukan jalan buntu jika mesin fiskal dan ekonomi riil ditata dengan serius.

Data awal menegaskan konteks: pertumbuhan sekitar lima persen, jangkar defisit terjaga, dan program sosial raksasa yang membutuhkan pembiayaan dan tata kelola yang kuat. Dari LPS, Purbaya membawa ketenangan; dari kursi Menkeu, ia harus menambahkan arsitektur fiskal yang menjadikan janji politik sebagai kemajuan produktif, bukan sekadar pengeluaran besar.

Pada akhirnya, yang kita butuhkan adalah keseimbangan berani: berani menambah kecepatan untuk menghidupkan mesin produktivitas, tetapi cukup disiplin agar rem tidak blong.

Bila playbook penerimaan, belanja, dan investasi disampaikan jelas dalam seratus hari pertama, pasar akan memberi ruang, masyarakat memberi dukungan, dan mesin ekonomi bisa dipacu.

Tanpa itu, angka delapan persen tinggal retorika di podium. Indonesia sudah pernah membuktikan mampu tumbuh cepat ketika kebijakan fiskal, moneter, dan ekonomi riil seirama. Kini saatnya membuktikan lagi—dengan sopir baru yang bukan hanya piawai menahan rem di turunan, tetapi juga cerdas memilih gigi ketika jalan menanjak.—(rls)

(*Penulis adalah: Ekonom & Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)

——

Redaksi menerima artikel dari semua pihak sepanjang dianggap tidak berpotensi menimbulkan konflik SARA. Setiap artikel yang dimuat adalah menjadi tanggungjawab sepenuhnya oleh penulis.